INDONESIAN LITERATURE' S CORNER
 
 
 
         ESSAYS AND POLEMICS
         INDONESIAN POETS & THEIR WORKS
         INDONESIAN SHORT STORIES
 
 
 
 
  ESSAYS AND POLEMICS
 
 NH DINI hingga AYU UTAMI
 Novel  SAMAN dan Kesepian Pembaca
 Teater Indonesia, teater dengan Tubuh Empiris ?
 
 
 
 
NH DINI HINGGA AYU UTAMI
Oleh :Budi Darma
 
MENJELANG akhir abad ke-20 ada beberapa entitas yang dapat mempengaruhi, atau
menjadi bagian sastra aliran pokok. Beberapa entitas tersebut antara lain sastra
sub-kebudayaan, sastra kabur, dan sastra yang mengacu pada realitas sosial, serta sastra feminis.
Pada Seminar Sehari yang bertema “Membaca Kembali Sastra Kita Abad-21”, yang
berlangsung di Gallery Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dalam rangka
Mensyukuri Ulang Tahun ke-32 Majalah Horison, Budi Darma mengatakan demikian,25 Juli.
Sastra feminisme memiliki ciri pokok, yaitu kemarahan terhadap laki-laki dan
kebudayaan yang orientasinya adalah kepentingan laki-laki. Dan kemarahan ini terjadi
tidak hanya dalam sastra, namun juga dalam kritik sastra.
Namun, menurut Budi Darma, sastra Indonesia tidak memiliki semangat besar
feminisme. Dari sekian banyak wanita pengarang, tambahnya, hanya Nh. Dini yang
menyuarakannya. Karya-karyanya sejak tahun 1950-an sampai akhir abad-20 diikat
oleh aspirasi yang kurang lebih sama, yaitu memarahi laki-laki.
Mengenai sastra sub-kebudayaan, pengarang Olenka dan Rafilus ini melihat, pada
dasarnya ia muncul sebagai perwujudan kerinduan pengarang untuk lepas dari aspirasi
global mondial.
“Di satu pihak, kita menjadi manusia nasional dan internasional, namun di lain pihak,
kita menuntut untuk kembali ke masa kanak-kanak kita sendiri, ke kebudayaan kita
sendiri,” tambahnya.
Karena itulah, menurut Budi, muncul sastra Indonesia Jawa, seperti karya Umar Kayam
dan Mangunwijaya. Terbit pula sastra Indonesia Minangkabau, seperti novel-novel
Chairul Harun dan Darman Munir; serta sastra Indoensia Dayak sebagaimana yang
tampak dalam novel Korrie Layun Rampan.
Budi Darma juga menguraikan sastra kabur, dengan membandingkan antara The
Birthday Party, karya drama Harold Printer, dan Menunggu Godot karya Samuel
Becket.
Dialog dalam The Birthday Party begitu cerdas dan lucu, peristiwanya meletup-letup,
penuh dinamika, dan membuat orang terpukau pada tahun 1950-an. Namun hal-hal
tersebut tidak terasa lagi jika drama itu dinikmati pada masa kini.
“Segala kecerdasan, kelucuan, dan letupan-letupan yang dulu membuat kita terkesima,
sekarang sudah tidak tersisa lagi. Sebaliknya, kalau kita membaca Menunggu Godot,
kita masih sanggup mengaguminya. Mengapa? Padahal keduanya mempunyai
kesamaan ciri,” kata Budi.
Keduanya termasuk karya absurd, penuh ketidak-jelasan.
Jawab atas pertanyaan itu, menurut Budi Darma, adalah karena ketidak-jelasan dalam
The Birthday Party berbeda dengan ketidak-jelasan dalam Menunggu Godot.
“Ketidak-jelasan dalam The Birthday Party, meskipun cerdas dan lucu, tidak lain
hanyalah sekadar ketidak-jelasan. Boleh dibilang, ketidak-jelasan dalam drama ini,
pada hakikatnya, tidak dilandasi oleh pemikiran,” tambahnya.
Sementara itu, menurut Budi, sastra Indonesia juga penuh dengan sastra kabur. Ada
puisi gelap, novel anti-hero dan anti plot, drama yang tidak  jelas, dan lain-lain, yang
mulai bangkit pada tahun 1970-an dan masih berlanjut hingga kini.
Mengapa sastra kabur memukau, apakah ia mempunyai dimensi masa depan  yang
baik ataukah hanya sesaat, menurut Budi, jawabannya bisa banyak. Namun,
perbandingan antara Harold Printer dan Samuel Becket, dikatakan Budi, dapat
dijadikan salah satu acuan  jawaban.
Kecenderungan untuk menghubungkan karya sastra dengan gejala sosial, menurut
Budi, dapat dilacak sejak tahun 1970-an dan berlanjut sampai akhir 1990-an.
Ia mencontohkan Ayu Utami yang menulis Saman. Saman membawakan persoalan
peka dalam masyarakat, yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit.
“Lalu, Ruslan Pe Amarinza dalam Dikalahkan Sang Sapurba dan Taufik Ikram Jamil
dalam Hempasan Gelombang juga mengungkap masalah yang sama, yaitu
perkebunan. Korrie Layun Rampan dalam Api Awan Asap mengungkap masalah yang
mirip, yaitu hutan Kalimantan. Zora Herawati, sementara itu, mengungkapkan masalah
hubungan keturunan Cina dengan para pejabat, masalah yang juga sangat peka dalam
masyarakat,” tegas Budi Darma, yang menulis   dan seorang Guru Besar di IKIP
Surabaya ini.    (Zaenal Abidin)
.
  Cited from: Minggu Pagi, Agustus 1998
Back to the top
 
 
  Novel Saman dan Kesepian Pembaca

                                                                     Oleh Hikmat Darmawan

                                     Jauh dari bayangan, saya bisa membaca teks sastra yang kenal pada
                                     Deni Manusia Ikan. Pada halaman 13 naskah (novel) Saman tertulis:
                                     ''Waktu kecil ia ingin menjadi pelaut, karena ia tidak bisa menjadi Deni
                                     manusia ikan - ia masih menyimpan komik itu hingga sekarang,
                                     meskipun tak berhasil memperoleh akhir ceritanya.''

                                     Membaca kalimat itu saya merasa gembira yang aneh: Saman -- novel
                                     karya Ayu Utami pemenang pertama Sayembara Penulisan Roman
                                     DKJ 1998 yang mengundang kontroversi itu -- telah menjamah
                                     sebuah ingatan kolektif, menjamah pernik cohort dari sebuah
                                     generasi, generasi Orba.

                                     Membaca Saman adalah mengurai lapis demi lapis kesepian
                                     (seorang) pembaca sastra Indonesia. Radhar Panca Dahana, dalam
                                     sebuah esei di kumpulan puisinya, Lalu Waktu, menawarkan sebuah
                                     persoalan sastra Indonesia kontemporer: sastra yang kehilangan
                                     pembaca. Radhar tak menyalahkan pembaca. Ia lebih hendak
                                     menggugat para pekerja sastra kita yang tak terlampau tanggap
                                     ekologi baru sastra Indonesia.

                                     Tapi saya mengalami hal yang berbeda (saya bukan ''pekerja sastra'').
                                     Sayalah yang merasa ditinggalkan oleh sastra Indonesia. Khususnya
                                     dalam prosa.

                                     Sedikitnya ada tiga gejala yang membuat saya merasa begitu.
                                     Pertama, komunitas sastra Indonesia belakangan ini -- katakanlah
                                     dalam 10 tahun terakhir -- sudah jarang menghasilkan karya yang
                                     kuat, karya terobosan, yang menyegarkan untuk dibaca (saya
                                     menghindari kata ''karya besar''). Karya prosa yang betul-betul terasa
                                     baru dan segar paling-paling kumpulan cerpen Negeri Kabut Seno
                                     Gumira Adjidarma. Karya Seno yang lain, Saksi Mata dan Jazz,
                                     Parfum dan Insiden, memang juga dianggap luar biasa oleh para
                                     kritisi, tapi masih digayuti beban pesan, bahkan amarah (terhadap
                                     kasus Timor Timur), sehingga tak terasa ''menari'' sebebas Negeri
                                     Kabut.

                                     Karya kuat lain yang banyak disebut adalah Pasar (Kuntowijoyo)
                                     dan Para Priyayi (Umar Kayam). Bisa juga disebut Arus Balik dari
                                     Pramodya Ananta Toer yang tebalnya na'udzubillah itu. Tapi
                                     ketiganya ditulis oleh para jago tua. Patut dicatat juga cerpen Sutardji
                                     Calzoum Bachrie, Hujan dan Ayam yang ajaib -- tapi Tardjie pun jago
                                     tua. Dan itulah gejala kedua, pentas sastra masih didominasi
                                     nama-nama lama. Sebagian semakin cemerlang (seperti Kunto dengan
                                     cerpen-cerpennya yang fenomenal; ditambah yang terbaru, novel
                                     Impian Amerika). Sebagian sedang-sedang saja, mapan dalam
                                     kematangan mereka (seperti NH Dini dan Danarto). Ada juga yang
                                     malah terasa menurun (misalnya Budi Darma dengan Ny Talis dan
                                     Romo Mangun dengan Burung-burung Rantau).

                                     Sedang para prosais muda, kecuali Seno, belum mampu menembus
                                     dominasi para senior mereka. Sebagian sempat membawa angin segar
                                     dalam hal penuturan dan tema cerita, tapi tampak belum kuat
                                     staminanya untuk hadir secara kontinu (seperti Leila S Chudori,
                                     Yanusa Nugroho dan Radhar Panca Dahana). Sebagian cukup punya
                                     stamina, tapi cuma meneruskan tradisi penceritaan yang telah ada --
                                     muda, tapi tak membawa kebaruan, sekadar membawa variasi saja.
                                     Sebagian besar malah cuma menambah jumlah saja.

                                     Dan, jika kita bicara novel, jangankan mengharap novel yang kuat,
                                     mengharap jumlah saja tak bisa. Para jago tua itu pun punya masalah
                                     produktivitas. Sedang para prosais muda lebih betah menulis cerpen
                                     untuk koran dan majalah (bahkan mulai muncul pembenaran lewat
                                     teori sastra koran).

                                     Lalu, gejala ketiga, eksplorasi bentuk-bentuk pengucapan baru,
                                     pencarian terus-menerus ekspresi bahasa yang mampu menampung
                                     dinamika persoalan dan perasaan kontemporer, jarang sekali
                                     dilakukan. Dunia puisi kita masih lumayan dinamis dalam
                                     memberdayakan bahasa Indonesia. Tapi, di dunia prosa, bahasa
                                     Indonesia semakin tampak pucat dan tak menarik. Indonesia, dunia,
                                     bergerak. MTV, komik Jepang, Benetton, burger, Planet Hollywood,
                                     mal-mal, pemogokan buruh, HAM, internet dan banyak lagi, telah jadi
                                     bagian kesadaran kita. Tapi, bahasa prosa seolah malas bergerak,
                                     cuma menggeliat sesekali, kemudian tidur lagi.

                                     Maka, lengkaplah kesepian saya sebagai pembaca.

                                     Bisa dibayangkan betapa penasaran saya saat mendengar Sapardi
                                     Djoko Damono, sewaktu mengumumkan pemenang lomba penulisan
                                     roman DKJ, memuji Saman demikian: ''... memamerkan teknik
                                     komposisi yang -- sepanjang pengetahuan saya -- belum pernah
                                     dicoba pengarang lain di Indonesia, bahkan mungkin di negeri lain ...''
                                     Wah! Lalu, ''... saya takut, jika novel ini diterbitkan, jangan-jangan
                                     pengarang lain ... diam-diam merasa perlu belajar menulis dalam
                                     bahasa Indonesia lagi.'' Ck, ck, ck!

                                     Tapi, upaya membaca Saman adalah sebuah cerita lain kesepian
                                     seorang pembaca. Sulit juga mendapatkan naskah itu. Salah satu juri,
                                     Faruk HTT, antusias membagi-bagi fotokopi Saman (yang sudah
                                     buram karena dikopi berkali-kali) ke beberapa media. Kompas juga
                                     agaknya membagi-bagi kopi pada Umar Kayam, Romo Mangun dan
                                     Pramodya.Saman dengan cepat beredar di lingkaran pembaca elit
                                     sastra Indonesia. Tapi, siapa mau membagi pada saya?

                                     Setelah kasak-kusuk, saya mendapatkan Saman dalam disket. Karena
                                     tinta printer atau fotokopi sedang mahal, jadilah saya membaca
                                     Saman lewat monitor komputer, dengan segala ketaknyamanannya.
                                     Apakah kesepian saya lalu terobati?

                                     Untuk sebagian, ya. Bahasa prosa Saman sungguh menyegarkan.
                                     Beda dengan kesan yang muncul dari komentar-komentar di atas,
                                     bahasa Indonesia dalam Saman tak tampil luhung dan angkuh.
                                     Kehebatan bahasa dalam Saman terletak pada kemampuannya untuk
                                     menampung wacana sosial-budaya-filsafat terkini serta dinamika
                                     kenyataan kontemporer, sambil tetap jernih dan mengalir lincah.

                                     Memang, ada kata yang tak banyak diakrabi orang (seperti ''laut lapis
                                     lazuli'' atau ''selarit matahari'') atau nama-nama asing (seperti Seurat),
                                     tapi kehadiran mereka tak mengganggu, malah (walau mungkin tak
                                     dimengerti, tapi) menambah keindahan bunyi. Bersastra memang tak
                                     mesti berangker-angker.

                                     Cara bercerita Ayu juga istimewa. Beberapa istilah telah dilekatkan
                                     tuturan pada Saman: ''teknik roman pop'' dan ''non-linear'' (Umar
                                     Kayam), atau ''struktur kolase ruang waktu serta dialog introvet
                                     ekstrovet kompleks...'' (Romo Mangun). Sapardi menganggap
                                     komposisi Saman, sepanjang pengetahuannya, ''tak ditemukan di
                                     negeri lain.'' Padahal, karya-karya Ondaatje, Salman Rushdie, Vikram
                                     Seth, Milan Kundera adalah contoh cara bercerita sealiran dengan
                                     Saman. Yang menyenangkan adalah bahwa teknik itu, aliran bertutur
                                     itu, kini hadir dalam sebuah novel Indonesia.

                                     Keistimewaan Saman memang kemampuannya untuk bercerita tanpa
                                     beban -- ia hanya asyik bercerita. Bahkan, ketika ada selipan-selipan
                                     pemikiran diskursif, tentang Tuhan, agama, negara, hubungan
                                     antarmanusia (khususnya seks), ia tak terasa berkhutbah. Ia enteng
                                     saja merangkum ikon-ikon generasi Orde Baru (generasi yang terlahir
                                     dan besar selama Orde Baru, yang dibuai kelimpahan materi dan
                                     informasi dan dihegemoni Pembangunanisme) semenjak Deni
                                     manusia ikan, mie pangsit hingga internet, mencampurbaurkan
                                     dengan kisah-kisah injil, wacana diasforik (tanpa tapal batas), dan
                                     angst generasi X plus sebuah kisah magis yang amat kuat di bagian
                                     2.

                                     Di sisi lain, kesepian saya justru menegas. Kegairahan melanggar
                                     tabu, apalagi tabu terhadap Tuhan dan tabu seks, agaknya kini
                                     adalah jalan pintas untuk menghasilkan teks yang kuat dan
                                     menggoncang. Tapi, apa susahnya sih, di jaman sengkarut kini,
                                     untuk kehilangan kepercayaan pada yang sakral? Ketika Wisanggeni
                                     atau Saman mengalami betapa biadabnya pembangunanisme, kok
                                     enak amat ia begitu segeranya menyalah-nyalahkan Tuhan. Seakan
                                     tak ada upaya dari Saman, dan tokoh-tokoh lain, untuk berdialog
                                     tuntas dengan keimanan. Seakan Saman dimulai dengan apriori
                                     terhadap keimanan, meletakkan iman sejak awal dalam posisi lemah.

                                     Saya tak hendak nyinyir. Tabu kadang memang perlu dilanggar. Saya
                                     amat menyukai pelanggaran tabu terhadap ''kesucian'' Negara dalam
                                     Saman -- khususnya karena belakangan ini kinerja Negara Orde Baru
                                     memang amat tak memuaskan. Saya cuma merasa tak sepenuhnya
                                     terwakili oleh Saman, khususnya pada bagian-bagian yang
                                     mendesakralkan Tuhan dan seks. Saya sering juga mendengar cerita
                                     (lisan) tentang orang-orang yang mengalami kekerasan Negara,
                                     kekerasan hidup, dan toh semakin santun pada Tuhan. Mereka
                                     bukannya tak pernah ragu atau gelisah. Tapi mereka selalu
                                     sungguh-gungguh mencoba memenangkan iman. Rasanya mereka
                                     pun menarik untuk diceritakan.

                                     Saman, selain disambut gembira, juga menimbulkan gunjingan.
                                     Apakah benar Ayu Utami murni menulis sendiri karya itu? Sebagian
                                     menghubung-hubungkannya dengan lingkaran pergaulannya di
                                     komunitas Teater Utan Kayu (TUK) yang, diakui atau tidak, punya
                                     patron Goenawan Mohamad. Masalahnya banyak bagian bahasa
                                     prosa Saman mirip dengan gaya menulis Goenawan. Dan wawancara
                                     Kompas (5 April 1998) dengan Ayu Utami, oleh sebagian, dianggap
                                     ''bukti'' bahwa Ayu tak mungkin bisa menulis Saman sendirian.

                                     Kompas tampak memojokkan Ayu. Sampai ditulis segala bahwa: ''Bila
                                     dari manuskrip Saman terlihat lincah dan cerdasnya Ayu berbahasa...
                                     tidak demikian rupanya Ayu dalam ''diskursus lisan'.'' Lalu ditambah
                                     pula ''...wawancara ini sebagian dibiarkan sebagaimana adanya,
                                     seperti ia ungkapkan...,'' seolah hendak berkata: ''Ini lho, Ayu yang
                                     sesungguhnya.''

                                     Pewawancara bertanya, ''tahu bedanya Dasamuka dan Rahwana?''
                                     seolah hal itu penting dijelaskan. Ayu menjawab ''nggak'', dan
                                     sebagian pembaca berpikir, ''Tuh kan, si Ayu bodo!''

                                     Padahal ''Dasamuka'' cuma bagian dari sebuah kalimat metafor biasa
                                     dalam Saman, bukannya menjadi bagian penting simbolisasi cerita
                                     seperti tokoh-tokoh wayang dalam Burung-burung Manyar. Lalu
                                     pewawancara mendesak soal penggambaran rig dan Perabumulih.
                                     Sebagian pembaca tergiring, mana mungkin Ayu bisa menulis itu
                                     kalau dia tak pernah ke rig dan Perabumulih. Dulu, Mohamad
                                     Diponegoro dianggap pernah ke Bangkok karena amat hidup
                                     menggambarkannya dalam roman Saman. Ia lalu mengaku tak pernah
                                     ke Bangkok -- ia cuma berimajinasi.

                                     Di sisi lain, Saman dirayakan secara berlebih. Sampai Kompas
                                     menganggapnya sebagai tanda kelahiran ''angkatan baru sastra
                                     Indonesia''. Angkatan? Benar perlukah kompartementalisasi begitu?
                                     Lalu para otoritas sastra (Sapardi, Kleden, Kayam, Mangun)
                                     mengajaibkan Saman. Benarkah Saman adalah ''karya ajaib'' dari
                                     seorang ''anak ajaib''? Ataukah ia tak lebih dari anak jamannya, karya
                                     yang lahir memang sudah pada saatnya?

                                     Semoga benar yang kedua. Karena, jika demikian, krisis Indonesia
                                     kini akan membantu melahirkan karya-karya kuat lainnya,
                                     sebagaimana masa-masa sulit dulu -- masa revolusi serta masa akhir
                                     Orde Lama dan awal Orde Baru -- menjadi lahan yang subur untuk
                                     karya-karya kuat. Masa-masa sulit adalah masa-masa memetik
                                     hikmah. Dan, sastra adalah salah satu cara untuk
                                     mendokumentasikan hikmah itu dengan baik. Semoga. Agar Ayu tak
                                     'hebat' sendirian. Agar sastra Indonesia ramai lagi. Agar pembaca tak
                                     kesepian lagi. n penulis adalah pengamat sastra, tinggal di Jakarta.

                                      Penulis adalah anggota kumpul-kumpul budaya Pinsil Tebal

                                   

Cited from SIESTA ONLINE No II tahun I  september 1998
 
 
Back to the top
 
 
Teater Indonesia, Teater dengan Tubuh
Empiris?
Sutradara adalah Segala-galanya
Asrul Sani pernah mengatakan bahwa teater Indonesia lahir dari adanya semacam
urbanisasi yang kemudian membentuk kata-kata, dan dari kata-kata itu membentuk
masyarakat yang berkembang sedemikian rupa, yang akhirnya mereka membutuhkan
semacam teater. Dan yang menarik, dari pembentukan kata-kata dan teater ini adalah
bahwa urbanisasi itu datang dari sekian banyak wilayah kebudayaan, akibatnya kita
masuk dalam suatu masyarakat yang heterogen.
Hal lain yang juga menonjol dalam pertumbuhan teater kita adalah miskinnya kontribusi
kalangan akademisi. Afrizal Malna pernah mencatat bahwa sekitar 80 persen dari
kelompok-kelompok teater yang ada di Indonesia, mungkin tidak pernah mendapatkan
pendidikan teater.
Lalu, mungkinkah membuat standardisasi dari sesuatu yang centang perentang dalam
pembicaraan teater kita seperti itu? Mungkinkah membuat sebuah kesepakatan bila kita
bicara tentang teater? Dan mencoba memahami teater lewat lewat pentas dan aktor
mereka? Afrizal mencoba mengurai tentang teater kita itu berikut ini.
Saya tidak membawa suatu kerangka baku, tentang teater maupun aktor dari luar. Saya
selalu berada sebagai seorang penonton yang terus-terusan berada dalam posisi yang
dinamis dalam menyaksikan pertunjukkan.
Saya posisikan diri kembali setiap menyaksikan pertunjukan sebagai penonton, karena
saya menolak adanya standardisasi berdasarkan kedua hal itu. Itu membuat saya tidak
setuju kalau misalnya Asrul sani beranggapan bahwa eksistensi teater terletak pada
aktor, sebagaimana juga Nirwan Dewanto beranggapan eksistensi teater berada pada
seni peran. Itu berdasarkan kedua hal itu.
Kedua saya agak kecewa dengan adanya anggapan bahwa teater Indonesia, tumbuh
sebagai teater sutradara. Dan terus-terusan kesimpulan seperti ini dipertahankan tanpa
ada kajian lebih detail. Kasus per kasus bagaimana penelitian terhadap aktor-aktor.
Karena saya anggap, sebutan bahwa teater Indonesia tumbuh sebagai teater sutradara
itu berangkat dari dua hal. Pertama, budaya kita dibentuk oleh semacam wacana
kepemimpinan.
Dalam otak kita ada semacam pola kepemimpinan yang terus-terusan bekerja dalam
menilai sesuatu. Maka ketika berhadapan dengan teater sebagai sebuah tim, wacana
kepemimpinan itu bekerja, kita selalu mencari siapa yang menjadi komandan di teater ini.
Siapa yang menjadi pemimpinnya. Itu yang membuat sutradara dikukuhkan sebagai
segala-galanya dalam teater.
Kedua, kebanyakan kritik teater, atau ulasan-ulasan mengenai teater, laporan mengenai
teater, aktor hampir selalu dinomor sekiankan. Penulis-penulis teater lebih banyak
membecarakan sutradara, dan setelah itu gagasan. Aktor tidak. Artinya, hampir seluruh
kritik teater kita, ulasan-ulasan teater kita, sebenarnya adalah sebuah laporan tanpa
teater.
Seringkali, pembicaraan kita adalah pembicaraan tanpa teater sebenarnya. Dan saya
ingin mengisi sisi yang kosong ini. Kita harus mengambil contoh yang lebih dekat
dengan kita, sehingga banyak hal yang bisa kita bicarakan. Dalam bahasa Afrizal, ‘’ada
satu hal yang saya sampaikan, ketika saya melepaskan semua standar sesuatu yang
baku dalam teater, saya punya suatu pijakan yang menurut saya sangat penting bagi
kita semua. Yaitu sejauh mana kita punya semacam toleransi ketika berhubungan dengan
teater, kita memberikan toleransi kepada pertunjukkan. Kita mencoba melakukan suatu
eksperimen kecil tentang cara-cara kita berdemokrasi, dengan memberi toleransi terhadap
apa yang sedang dirumuskan teman-teman teater dalam pertunjukkannya. Dan tidak
harus mencurigai mereka. Bahwa mereka telah bersulit-sulit, Mereka telah memberikan
repot, kita mencoba memberikan toleransi, mungkin ada sesuatu yang sangat penting,
yang mereka sampaikan. ‘’
Sekarang marilah kita mencoba mengidentifikasi lewat fenomena tubuh dalam dunia
teater. Apa yang terjadi dalam fenomena tubuh aktor dalam dunia teater. Apakah
fenomena tubuh itu bisa untuk mengidentifikasi persoalan-persoalan ?
Dalam dunia teater aktor berdiri tegak berhadapan dengan penonton, tetapi apa
sebenarnya yang diubah oleh teater. Inilah terutama yang menarik pada teater. Teater
telah mengubah dua hal secara institusional.
Pertama, teater telah mengubah teks naskah yang diperankan dari teks yang dibaca,
menjadi teks yang dinyatakan. Kedua, teater mengubah pembaca, menjadi penonton,
perubahan ini radikal. Lebih lagi tubuh bisa dilihat sebagai kebudayaan, dengan relasi
sosial politik, dan ekonomi yang berlangsung di sekitarnya. Akting dalam fenomena
ketubuhan seperti ini, berada dalam tantangan di dalam kisi mata sebagai suatu
personifikasi untuk menjalankan pemeranan.
Tetapi lebih dari itu, menemukan dalam tubuh teks dengan cara baru. Lewat gambaran
itu pula, aktor sebenarnya menurunkan aktingnya dalam ketegangan antara tubuh nature
dengan tubuh budaya yang dihadapinya. Yang satu berada pada dirinya sendiri, yang
lain di luarnya dan ikut juga membentuknya.
Keduanya kadang-kadang berhubungan sebagai rejim kekuasaan wacana, yang
melakukan personifikasi dengan cara keras. Pertunjukkan-pertunjukkan itu jaya, yang
banyak menggunakan aksi-aksi manusia bergerombol misalnya, memperlihatkan
kekerasan personifikasi seperti itu. Kemampuan individu telah dicurigai sedemikian rupa
sebagaimana naskah Aduk, Putu Wijaya yang mempresentasikan manusia gerombolan
yang telah mempermainkan dunia individu yang sedang sakit.
Dalam pertunjukkan-pertunjukkan Putu dengan Teater Mandiri-nya, manusia memang
telah menjadi gerombolan. Menggunakan kostum berlapis-lapis, dan warna-warni
mengeluarkan suara keras dan bloking-bloking yang bergulir di atas bidang pentas
pertunjukkannya. Representasi seperti ini memperlihatkan, bagaimana manusia telah
kehilangan kepercayaannya untuk didengar dan dilihat.
Mereka harus bersuara lebih keras lagi. Dan menggunakan kostum berlapis-lapis untuk
itu. Akting di sini menjadi semacam senirupa pernyataan diri dilakukan justru melalui
hilangnya kepercayaan diri, ketika personifikasi telah menjadi neraka pernyataan itu
sendiri.
Sementara pertunjukan-pertunjukkan Teater Koma berusaha mencairkan tubuh dengan
pendistribusian elemen-elemen akting hampir rata antara tubuh, kata, musik dan
penataan panggung. Peran Ratna Riantiarno dan Salim bungsu cukup besar dalam
pencairan ini dan menjadi sangat kontras apabila membandingkan Ratna Riantiarno
dengan Reny Jayusman yang bermain penuh dengan beban pada tubuh, vokal, dan
kostum.
Akhirnya manusia memang patut dilepaskan dari keluarganya, dari negara dan tanah
airnya. Lalu dimasukkan dalam gudang sumpek yang menjadi manifestasi dari
kebanyakan pentas Teater Mandiri.
Aktor bukan lagi manusia-manusia tampan dan cantik. Seperti pada teater-teater opera
bangsawan. Manusia juga bukan lagi aktor yang memerankan tokoh-tokoh besar dari
sejarah besar, yang memiliki kerajaan atau partai-partai. Sebagian besar manusia di
Indonesia adalah petani dan buruh tanpa partai.
Akting seakan-akan memang diturunkan dari masyarakat tanpa kerajaan dan tanpa
partai. Bahkan sebagian besar dalam naskah-naskah Arifin C Nur adalah tokoh-tokoh
yang cacat pincang, idiot, kudisan, bisu, gembel, pelacur atau perampok. Semacam
akting juga yang diciptakan tidak jauh dari manusia cacat. Warna-warna muram hitam,
gelap, coklat tua, dan pencahayaan muram
Manusia yang hidup dalam masyarakat yang setia terhadap materialisme karena
kemiskinan, korup, hidup di pinggiran, tidak bisa lebih ke tengah lagi secara sosial,
ekonomi maupun politik. Atau berada dalam kehidupan pabrik yang buruk.
Akting di sini seakan-akan telah menjadi pernyataan, bahwa manusia telah cacat. Dalam
kebanyakan pertunjukkan-pertunjukkan teater kecil yang disutradai oleh Arifin C Noer
sendiri, prosedur akting seperti ini cenderung diturunkan dalam dua pola. Membara atau
menghanyutkan, yang diturunkan dalam irama-irama kontras, penuh konflik sakartis.
Amak Barjun adalah aktor Teater Kecil yang banyak memberikan warna pada akting
yang membara dan menghanyutkan itu. Yang sering sangat eksotis pada warna
vokalnya yang bergetar.
Dengan mata belalakan, atau gerakan kepala di antara punggung yang membungkuk.
Akting yang pasti tidak ditemukan pada manusia Barat, dunia keraton, dunia dalam
gedung, melainkan akting dari masyarakat pinggiran yang cenderung kasar dan terbuka.
Akting yang sangat berbeda dengan Slamet Raharjo, lebih banyak bermain untuk Teater
Populer, yang lebih normal, bersih seperti akting-akting akademi teater, tetapi terasa
dingin, angkuh, terluka dan kebarat-baratan, kendati ia bermain dalam tradisi pakaian
Jawa sekali pun.
Keduanya antara Amak Barjun dan Slamet Raharjo, seakan-akan dibedakan oleh pilihan
dan lingkungan budaya yang berbeda. Hal ini mengesankan bahwa akting tidak bebas
dengan adanya semacam determinisme budaya, yang hidup dalam sebagian primodial
dalam tubuh aktor.
Personikasi baru berlangsung dalam tubuh aktor dalam pemeranan teater menjadi tubuh
budaya yang melampaui tubuh naturalnya sendiri, dalam melakukan personifikasi.
Maka personifikasi untuk akting yang berlangsung pada pertunjukkan, yang
menuntaskan naskah dengan kandungan besar. Terutama pada drama-drama epik, politik
atau mistik. Narasi-narasi besar itu biasanya didistribusi oleh sejarah maupun legenda
yang melampaui penglaman empiris aktor maupun penonton.
Apapun pilihanku, toh aku akan ditembak, yang diucapkan Monserat dalam drama
Emanuel Robert, untuk drama ini terbayangkan tubuh empiris aktor yang tidak pernah
mengalamai situasi tersebut, dan banyak pertunjukkan bagi teater-teater yang pernah
mementaskan naskah ini. Tubuh dalam gambaran itu seperti naskah buihnya Akhudiat.
Yang setiap saat berusaha menghadirkan tubuh-tubuh bebas ada di luar penjara untuk
tetap bisa menghayati kebebasan.
Sementara tubuh empirisnya sendiri berada dalam sel tahanan dipaksa menyesuaikan diri
mengikuti dunia pemikiran. Yang lebih mampu melakukan transedensi keluar bilik
penjara. Sementara dia tertahan sebagai tubuhnya sendiri dalam penjara.
Tubuh dalam gambaran terpenjara ini, adalah tubuh yang tidak mampu memasuki
pengalaman orang lain. Sumber eksistensinya, seakan-akan tidak berada melalui
transedensi yang abstrak. Tetapi melalui imanensi yang kongkrit dan memesis.
Teater Indonesia adalah teater yang perkembangannya banyak dilampui narasi besar itu.
Tubuh orang Barat, sejarah orang Barat, kebudayaan orang Barat, pikiran orang Barat,
adalah satu bentangan neraka personifikasi bagi kebanyakan aktor yang
memerankannya.
Akting teater yang lebih banyak memerankan manusia Barat tidak hanya melalui teater,
tetapi juga melalui wacana-wacana budaya lainnya. Indonesia memiliki sekitar 400
naskah teater yang sebagian adalah naskah saduran , yang sebagaian besar tidak
populer juga tidak banyak menawarkan tantangan untuk mementaskannya. Sementara
naskah asing yang telah diterjemahkan dan sebagian besar sangat populer berjumlah
sekitar 154 naskah teater dari pengarang-pengarang terkenal. (afrizal/mik)
 
Cited from JAWA POST ONLINE , Minggu, 22 februari 1998
 
Back to the Top
 
 
 
   INDONESIAN POETS AND THEIR WORKS
 
            SUMINTO A SAYUTI
  HAMDY SALAD
       ALY D MUSYRIFA
 
 
 
  HAMDY SALAD

:

     BERLARI DARI BENCANA
 
 
                                                              Sebatang pohon api bernyala di atas bukit
                                                              berkilatan di antara lahar dan batu-batu
                                                              bendera bangsa jatuh ke dalam tungku pembakaran
                                                               tubuh siapakah yang terpanggang itu?
                                                              Sebuah lampu dari minyak zaitun
                                                              bernyala dalam gua pertapaan
                                                              sebelas bintang, bulan dan matahari
                                                              bersinar di atas kubah yang tenang
                                                              kecemasan terbungkus nafsu
                                                               menguap di lambung sunyi tanpa sisa
                                                               Kemanakah engkau akan berlari
                                                              dari bencana dan kerusuhan?
                                                              Orang-orang tak bernama saling beradu
                                                              membakar tubuhnya di tengah pasar
                                                              hingga asap mengepul dari ubun-ubunnya
                                                               melenyapkan kunci surga atau neraka
                                                               Kain sutra dirobek-robek menjadi seribu
                                                               untuk membungkus benalu, jamur dan cendawan
                                                               yang tumbuh di musim semi
                                                              Apakah agamamu yang sebenarnya
                                                               siapa nabi dan apa kitab sucimu?
 
                                                                            1998
 

                                          SELIMUT BUMI

                                 Telah kubuka selimut bumi dalam tubuhmu
                                    Bangkit dan reguklah sinar mataku
                                         Lupakan sejarahmu!
                                  Menari dan menarilah! bagai atom-atom
                                    yang mengelilingi sumbu matahari
                                    tinggalkan tengkorak pemimpinmu
                                     di atas tahtanya. Lalu lemparkan
                                      anak panahmu ke pipi langit
                                    sampai cermin dan batu-batu granit
                                  menjadi hancur dan bersujud kepadamu
                                      Apakah gunanya mata uang
                                   jika sejarah manusia dan benda-benda
                                       telah menjadi selimut bumi
                                     yang mengurung tubuh dan jiwa
                                          dalam kepalsuan?

                                                   1998

                                    Back to the top
                                    Back to Indonesian Poets

 
SUMINTO A SAYUTI
 
 MALAM TAMAN SARI
Penjaga malam itu datang tatkala rembulan
jatuh di pundak tembok temugelang.Aku pun bergegas masuk ke dalam mata
cincin di di jari manismu, nimas. Orang-orang pun ribut "Maling sakti,
maling sakti, di mana engkau sembunyi."
Keraguan muncul menyelimuti kalbumu."Lepas dan berikan buat
tumbal-pageblug negeri. Pipi ini lebih nikmat dielus telanjang jari."
Aku pun bergegas sembunyi di ikat sanggul rambutmu.
Engkau pun berbisik, "Maling hati, maling hati, kepadamu selamanya aku
bakalan mengabdi." Lalu sepi
Penjaga malam itu pergi tatkala rembulan jatuh
di pundak tembok temugelang. Aku pun bergegas
keluar dari persembunyian. "Surtikanti, Surtikanti,
lelaki sejati tak pernah cidra ing janji." Lalu sepi
Pakembinagun, l989