Oleh Hikmat Darmawan
Jauh dari bayangan, saya bisa membaca teks sastra yang kenal pada
Deni Manusia Ikan. Pada halaman 13 naskah (novel) Saman tertulis:
''Waktu kecil ia ingin menjadi pelaut, karena ia tidak bisa menjadi Deni
manusia ikan - ia masih menyimpan komik itu hingga sekarang,
meskipun tak berhasil memperoleh akhir ceritanya.''
Membaca kalimat itu saya merasa gembira yang aneh: Saman -- novel
karya Ayu Utami pemenang pertama Sayembara Penulisan Roman
DKJ 1998 yang mengundang kontroversi itu -- telah menjamah
sebuah ingatan kolektif, menjamah pernik cohort dari sebuah
generasi, generasi Orba.
Membaca Saman adalah mengurai lapis demi lapis kesepian
(seorang) pembaca sastra Indonesia. Radhar Panca Dahana, dalam
sebuah esei di kumpulan puisinya, Lalu Waktu, menawarkan sebuah
persoalan sastra Indonesia kontemporer: sastra yang kehilangan
pembaca. Radhar tak menyalahkan pembaca. Ia lebih hendak
menggugat para pekerja sastra kita yang tak terlampau tanggap
ekologi baru sastra Indonesia.
Tapi saya mengalami hal yang berbeda (saya bukan ''pekerja sastra'').
Sayalah yang merasa ditinggalkan oleh sastra Indonesia. Khususnya
dalam prosa.
Sedikitnya ada tiga gejala yang membuat saya merasa begitu.
Pertama, komunitas sastra Indonesia belakangan ini -- katakanlah
dalam 10 tahun terakhir -- sudah jarang menghasilkan karya yang
kuat, karya terobosan, yang menyegarkan untuk dibaca (saya
menghindari kata ''karya besar''). Karya prosa yang betul-betul terasa
baru dan segar paling-paling kumpulan cerpen Negeri Kabut Seno
Gumira Adjidarma. Karya Seno yang lain, Saksi Mata dan Jazz,
Parfum dan Insiden, memang juga dianggap luar biasa oleh para
kritisi, tapi masih digayuti beban pesan, bahkan amarah (terhadap
kasus Timor Timur), sehingga tak terasa ''menari'' sebebas Negeri
Kabut.
Karya kuat lain yang banyak disebut adalah Pasar (Kuntowijoyo)
dan Para Priyayi (Umar Kayam). Bisa juga disebut Arus Balik dari
Pramodya Ananta Toer yang tebalnya na'udzubillah itu. Tapi
ketiganya ditulis oleh para jago tua. Patut dicatat juga cerpen Sutardji
Calzoum Bachrie, Hujan dan Ayam yang ajaib -- tapi Tardjie pun jago
tua. Dan itulah gejala kedua, pentas sastra masih didominasi
nama-nama lama. Sebagian semakin cemerlang (seperti Kunto dengan
cerpen-cerpennya yang fenomenal; ditambah yang terbaru, novel
Impian Amerika). Sebagian sedang-sedang saja, mapan dalam
kematangan mereka (seperti NH Dini dan Danarto). Ada juga yang
malah terasa menurun (misalnya Budi Darma dengan Ny Talis dan
Romo Mangun dengan Burung-burung Rantau).
Sedang para prosais muda, kecuali Seno, belum mampu menembus
dominasi para senior mereka. Sebagian sempat membawa angin segar
dalam hal penuturan dan tema cerita, tapi tampak belum kuat
staminanya untuk hadir secara kontinu (seperti Leila S Chudori,
Yanusa Nugroho dan Radhar Panca Dahana). Sebagian cukup punya
stamina, tapi cuma meneruskan tradisi penceritaan yang telah ada --
muda, tapi tak membawa kebaruan, sekadar membawa variasi saja.
Sebagian besar malah cuma menambah jumlah saja.
Dan, jika kita bicara novel, jangankan mengharap novel yang kuat,
mengharap jumlah saja tak bisa. Para jago tua itu pun punya masalah
produktivitas. Sedang para prosais muda lebih betah menulis cerpen
untuk koran dan majalah (bahkan mulai muncul pembenaran lewat
teori sastra koran).
Lalu, gejala ketiga, eksplorasi bentuk-bentuk pengucapan baru,
pencarian terus-menerus ekspresi bahasa yang mampu menampung
dinamika persoalan dan perasaan kontemporer, jarang sekali
dilakukan. Dunia puisi kita masih lumayan dinamis dalam
memberdayakan bahasa Indonesia. Tapi, di dunia prosa, bahasa
Indonesia semakin tampak pucat dan tak menarik. Indonesia, dunia,
bergerak. MTV, komik Jepang, Benetton, burger, Planet Hollywood,
mal-mal, pemogokan buruh, HAM, internet dan banyak lagi, telah jadi
bagian kesadaran kita. Tapi, bahasa prosa seolah malas bergerak,
cuma menggeliat sesekali, kemudian tidur lagi.
Maka, lengkaplah kesepian saya sebagai pembaca.
Bisa dibayangkan betapa penasaran saya saat mendengar Sapardi
Djoko Damono, sewaktu mengumumkan pemenang lomba penulisan
roman DKJ, memuji Saman demikian: ''... memamerkan teknik
komposisi yang -- sepanjang pengetahuan saya -- belum pernah
dicoba pengarang lain di Indonesia, bahkan mungkin di negeri lain ...''
Wah! Lalu, ''... saya takut, jika novel ini diterbitkan, jangan-jangan
pengarang lain ... diam-diam merasa perlu belajar menulis dalam
bahasa Indonesia lagi.'' Ck, ck, ck!
Tapi, upaya membaca Saman adalah sebuah cerita lain kesepian
seorang pembaca. Sulit juga mendapatkan naskah itu. Salah satu juri,
Faruk HTT, antusias membagi-bagi fotokopi Saman (yang sudah
buram karena dikopi berkali-kali) ke beberapa media. Kompas juga
agaknya membagi-bagi kopi pada Umar Kayam, Romo Mangun dan
Pramodya.Saman dengan cepat beredar di lingkaran pembaca elit
sastra Indonesia. Tapi, siapa mau membagi pada saya?
Setelah kasak-kusuk, saya mendapatkan Saman dalam disket. Karena
tinta printer atau fotokopi sedang mahal, jadilah saya membaca
Saman lewat monitor komputer, dengan segala ketaknyamanannya.
Apakah kesepian saya lalu terobati?
Untuk sebagian, ya. Bahasa prosa Saman sungguh menyegarkan.
Beda dengan kesan yang muncul dari komentar-komentar di atas,
bahasa Indonesia dalam Saman tak tampil luhung dan angkuh.
Kehebatan bahasa dalam Saman terletak pada kemampuannya untuk
menampung wacana sosial-budaya-filsafat terkini serta dinamika
kenyataan kontemporer, sambil tetap jernih dan mengalir lincah.
Memang, ada kata yang tak banyak diakrabi orang (seperti ''laut lapis
lazuli'' atau ''selarit matahari'') atau nama-nama asing (seperti Seurat),
tapi kehadiran mereka tak mengganggu, malah (walau mungkin tak
dimengerti, tapi) menambah keindahan bunyi. Bersastra memang tak
mesti berangker-angker.
Cara bercerita Ayu juga istimewa. Beberapa istilah telah dilekatkan
tuturan pada Saman: ''teknik roman pop'' dan ''non-linear'' (Umar
Kayam), atau ''struktur kolase ruang waktu serta dialog introvet
ekstrovet kompleks...'' (Romo Mangun). Sapardi menganggap
komposisi Saman, sepanjang pengetahuannya, ''tak ditemukan di
negeri lain.'' Padahal, karya-karya Ondaatje, Salman Rushdie, Vikram
Seth, Milan Kundera adalah contoh cara bercerita sealiran dengan
Saman. Yang menyenangkan adalah bahwa teknik itu, aliran bertutur
itu, kini hadir dalam sebuah novel Indonesia.
Keistimewaan Saman memang kemampuannya untuk bercerita tanpa
beban -- ia hanya asyik bercerita. Bahkan, ketika ada selipan-selipan
pemikiran diskursif, tentang Tuhan, agama, negara, hubungan
antarmanusia (khususnya seks), ia tak terasa berkhutbah. Ia enteng
saja merangkum ikon-ikon generasi Orde Baru (generasi yang terlahir
dan besar selama Orde Baru, yang dibuai kelimpahan materi dan
informasi dan dihegemoni Pembangunanisme) semenjak Deni
manusia ikan, mie pangsit hingga internet, mencampurbaurkan
dengan kisah-kisah injil, wacana diasforik (tanpa tapal batas), dan
angst generasi X plus sebuah kisah magis yang amat kuat di bagian
2.
Di sisi lain, kesepian saya justru menegas. Kegairahan melanggar
tabu, apalagi tabu terhadap Tuhan dan tabu seks, agaknya kini
adalah jalan pintas untuk menghasilkan teks yang kuat dan
menggoncang. Tapi, apa susahnya sih, di jaman sengkarut kini,
untuk kehilangan kepercayaan pada yang sakral? Ketika Wisanggeni
atau Saman mengalami betapa biadabnya pembangunanisme, kok
enak amat ia begitu segeranya menyalah-nyalahkan Tuhan. Seakan
tak ada upaya dari Saman, dan tokoh-tokoh lain, untuk berdialog
tuntas dengan keimanan. Seakan Saman dimulai dengan apriori
terhadap keimanan, meletakkan iman sejak awal dalam posisi lemah.
Saya tak hendak nyinyir. Tabu kadang memang perlu dilanggar. Saya
amat menyukai pelanggaran tabu terhadap ''kesucian'' Negara dalam
Saman -- khususnya karena belakangan ini kinerja Negara Orde Baru
memang amat tak memuaskan. Saya cuma merasa tak sepenuhnya
terwakili oleh Saman, khususnya pada bagian-bagian yang
mendesakralkan Tuhan dan seks. Saya sering juga mendengar cerita
(lisan) tentang orang-orang yang mengalami kekerasan Negara,
kekerasan hidup, dan toh semakin santun pada Tuhan. Mereka
bukannya tak pernah ragu atau gelisah. Tapi mereka selalu
sungguh-gungguh mencoba memenangkan iman. Rasanya mereka
pun menarik untuk diceritakan.
Saman, selain disambut gembira, juga menimbulkan gunjingan.
Apakah benar Ayu Utami murni menulis sendiri karya itu? Sebagian
menghubung-hubungkannya dengan lingkaran pergaulannya di
komunitas Teater Utan Kayu (TUK) yang, diakui atau tidak, punya
patron Goenawan Mohamad. Masalahnya banyak bagian bahasa
prosa Saman mirip dengan gaya menulis Goenawan. Dan wawancara
Kompas (5 April 1998) dengan Ayu Utami, oleh sebagian, dianggap
''bukti'' bahwa Ayu tak mungkin bisa menulis Saman sendirian.
Kompas tampak memojokkan Ayu. Sampai ditulis segala bahwa: ''Bila
dari manuskrip Saman terlihat lincah dan cerdasnya Ayu berbahasa...
tidak demikian rupanya Ayu dalam ''diskursus lisan'.'' Lalu ditambah
pula ''...wawancara ini sebagian dibiarkan sebagaimana adanya,
seperti ia ungkapkan...,'' seolah hendak berkata: ''Ini lho, Ayu yang
sesungguhnya.''
Pewawancara bertanya, ''tahu bedanya Dasamuka dan Rahwana?''
seolah hal itu penting dijelaskan. Ayu menjawab ''nggak'', dan
sebagian pembaca berpikir, ''Tuh kan, si Ayu bodo!''
Padahal ''Dasamuka'' cuma bagian dari sebuah kalimat metafor biasa
dalam Saman, bukannya menjadi bagian penting simbolisasi cerita
seperti tokoh-tokoh wayang dalam Burung-burung Manyar. Lalu
pewawancara mendesak soal penggambaran rig dan Perabumulih.
Sebagian pembaca tergiring, mana mungkin Ayu bisa menulis itu
kalau dia tak pernah ke rig dan Perabumulih. Dulu, Mohamad
Diponegoro dianggap pernah ke Bangkok karena amat hidup
menggambarkannya dalam roman Saman. Ia lalu mengaku tak pernah
ke Bangkok -- ia cuma berimajinasi.
Di sisi lain, Saman dirayakan secara berlebih. Sampai Kompas
menganggapnya sebagai tanda kelahiran ''angkatan baru sastra
Indonesia''. Angkatan? Benar perlukah kompartementalisasi begitu?
Lalu para otoritas sastra (Sapardi, Kleden, Kayam, Mangun)
mengajaibkan Saman. Benarkah Saman adalah ''karya ajaib'' dari
seorang ''anak ajaib''? Ataukah ia tak lebih dari anak jamannya, karya
yang lahir memang sudah pada saatnya?
Semoga benar yang kedua. Karena, jika demikian, krisis Indonesia
kini akan membantu melahirkan karya-karya kuat lainnya,
sebagaimana masa-masa sulit dulu -- masa revolusi serta masa akhir
Orde Lama dan awal Orde Baru -- menjadi lahan yang subur untuk
karya-karya kuat. Masa-masa sulit adalah masa-masa memetik
hikmah. Dan, sastra adalah salah satu cara untuk
mendokumentasikan hikmah itu dengan baik. Semoga. Agar Ayu tak
'hebat' sendirian. Agar sastra Indonesia ramai lagi. Agar pembaca tak
kesepian lagi. n penulis adalah pengamat sastra, tinggal di Jakarta.
Penulis adalah anggota kumpul-kumpul budaya Pinsil Tebal
:
SELIMUT BUMI
Telah kubuka selimut bumi dalam tubuhmu
Bangkit dan reguklah sinar mataku
Lupakan sejarahmu!
Menari dan menarilah! bagai atom-atom
yang mengelilingi sumbu matahari
tinggalkan tengkorak pemimpinmu
di atas tahtanya. Lalu lemparkan
anak panahmu ke pipi langit
sampai cermin dan batu-batu granit
menjadi hancur dan bersujud kepadamu
Apakah gunanya mata uang
jika sejarah manusia dan benda-benda
telah menjadi selimut bumi
yang mengurung tubuh dan jiwa
dalam kepalsuan?
1998
Back to the top
Back to Indonesian Poets