RI-IMF Watch |
Edisi 12
Gerakan Lumbung Kota & Kelaparan Komite Pemberdayaan Hak-hak Rakyat Edisi 10 Edisi 9 Edisi 8 Edisi 6 Edisi 5 Belanja Sekarang Itu Menghemat Pengingkaran Perjanjian dengan IMF Edisi 4 |
Edisi 12 Minggu, 28 Juni 1998 Gerakan Lumbung
Kota & Kelaparan Sementara itu di Lampung dua orang telah meninggal karena kelaparan. Mereka tidak mampu membeli beras yang harganya hanya Rp 1800,- (US$ 0.11) per kg, dan kemudian memakan tiwul yang terbuat dari ketela pohon, seperti yang pernah dicontohkan mantan Presiden Soeharto. Mereka kemudian keracunan dan meninggal. Beberapa orang yang keracunan masih dirawat di rumah sakit, mereka kurus-kurus, seperti waktu Orde Lama. Ada spekulasi, penyebab penyakit Sorharto sehingga tak bisa bertugas 10 hari sebagai presiden, dikarenakan makan tiwul itu. (A3).*** Komite Pemberdayaan Hak-hak Rakyat Beberapa tokoh dan aktivis di Jawa Barat membentuk Komite Pemberdayaan Hak-hak Rakyat, yang merupakan perluasan dari inisiatif awal yaitu Corruption Watch di Jawa Barat, tanggal 21 Juni 1998 di Bandung. Organisasi Komite ini terdiri atas tiga bagian, yaitu Dewan Kehormatan, Dewan Penasehar dan Presidium. Susunan pengurus Dewan Kehormatan : Letjen (purn) Mashudi, Kolonel (purn) H. Aboeng Koesman, Dr. Ny. Parwati Soepangat, Dr. Djalaluddin Rachmat; Dewan Penasehat : Prof. Dr. Bagir Manan, Sh, Prof. Dr. John Nimpuno, Prof. Dr. Daud Silalahi, Prof. Dr. Yusuf Amir Faisal, dan Drs. Soeharsono Sagir. Presidium : Muhammad Ridlo 'Eisy, MBA (Ketua), Didin S. Maolani, SH
(Wakil Ketua), Drs. Endang Suhendar (Sekretaris), Ir. Hetifah Sjaifudian,
MPP (Bendahara) dan para anggota presidium : Dr. Ny. E. Komariah, SH, Dr.
B. Arief Sidharta, Dr. Rusadi Kantaprawira, Dr. Harry Roesli, Dr. Ir. Ganjar
Kurnia, Dede Harris, SH, Drs. Budi Radjab, Haneda Srilastoto, SH, Perdana
Alamsyah, Drs, Frida Rustiani, dan Veania.(A10)*** [lengkapnya
Klik di sini]
Selasa, 16 Juni 1998 Petani, Selamatkan
Dirimu Jangan terlalu percaya kepada keterangan pemerintah, karena pemerintah kita sering berbohong. Krisis ekonomi sekarang ini juga merupakan azab dari Allah karena kebohongan-kebohongan yang dilakukan pemerintah selama ini, dan rakyat tidak berani melakukan koreksi. Carilah informasi sendiri ke pasar. Bila harga beras di pasar naik, maka artinya stok beras kurang. Jika harga beras turun, artinya stok beras banyak. Pasar jarang berbohong, tidak seperti pemerintah. Dengan demikian petani harus tetap hati-hati. Jangan cepat-cepat menjual gabah hasil panen kepada siapa pun, termasuk kepada tengkulak, KUD, Dolog/Bulog. Jika petani punya gabah, pertama-tama hitunglah kebutuhan beras untuk keluarga sendiri sampai masa panen mendatang. Simpanlah gabah secukupnya untuk keperluan keluarga sampai panen mendatang. Kedua, jika masih ada sisa lebih baik disimpan dahulu, dan jika mau dijual, juallah dahulu kepada sanak keluarga dan/atau tetangga. Ketiga, jika masih tetap ada sisa gabah, simpan juga dahulu, dan jual di kemudian hari. Ingat, inflasi tahun ini sangat tinggi. Artinya menyimpan barang lebih baik daripada menyimpan uang. Keempat, jika masih tetap ada sisa gabah, simpan dahulu saja, kecuali ada keperluan penting yang amat mendesak. Kelima, jika pemerintah tetap saja mezalimi petani dengan mengatakan bahwa harga gabah Rp 1000,-/kg itu sudah final, seperti yang dikatakan Menteri AM Saefudin pada televisi hari Selasa, 16 Juni 1998, pagi hari, maka tanamlah padi secukupnya untuk keluarga dan sanak saudara, sisa tanah lebih baik ditanam dengan palawija, atau untuk sementara beristirahat. *** Mungkin saja penjelasan Beddu Amang benar. Stok beras memang banyak, dan Bulog kemudian melakukan operasi pasar untuk menekan harga beras. Jika ini yang dilakukan pemerintah, maka tindakan ini sungguh menjengkelkan. Bayangkan, pemerintah membeli beras dari petani luar negeri dengan harga Rp 3840,-/kg ( US $ 1,- = Rp 12.000,-), dan kemudian menjual di pasar Indonesia hanya Rp 1660,-/kg. Ini berarti pemerintah bukan hanya mensubsidi petani luar negeri, tapi juga menginjak-injak kepentingan petani Indonesia yang jumlahnya lebih dari 120 juta orang. Kebijakan yang menindas petani ini telah dilakukan pemerintah Suharto selama 32 tahun, dan tampaknya akan dilanjutkan Habibie setelah ia melakukan peninjauan Pasar Induk Cipinang dan Pasar Jatinegara, Jumat, 12 Juni 1998. Pemerintah Habibie tampaknya tidak akan menaikkan harga dasar gabah Rp 1000,-/kg atau harga beras Rp 1660,-/kg. Ini berarti penindasan kepada petani Indonesia akan bertambah lama. Alasan Habibie, demikian pula Suharto, pemerintah berkewajiban membuat harga beras terjangkau oleh masyarakat umum. Inilah alasan lama yang dipakai menindas petani Indonesia. Apa yang dimaksud dengan masyarakat umum? Apakah kurang banyak jumlah 120 juta petani Indonesia untuk dijuluki masyarakat umum? Untuk siapa petani Indonesia dikorbankan oleh pemerintah? Mengapa petani Indonesia dikorbankan terus menerus, dan ditindas tiada henti? Diduga penindasan petani Indonesia itu untuk menolong pengembangan industri. Dengan beras murah, maka buruh bisa digaji rendah. Dengan gaji rendah maka industri Indonesia memperoleh keunggulan komparatif dalam bersaing di pasar internasional. Ternyata kini industri Indonesia hancur, sedangkan petani tetap saja dikorbankan. Apa dampak kebijakan pemerintah yang menindas petani ini? Yang terlihat dengan segera adalah bahwa kegiatan petani tidak menarik. Anak-anak muda desa pergi ke kota mencari kerja yang lebih mendatangkan uang. Urbanisasi tak bisa dibendung. Tanah di desa dijual sebagai modal untuk dagang di kota, membeli mobil angkutan, atau motor untuk ojeg. Yang lebih parah, kegiatan pertanian dianggap bukan merupakan kerja yang bermartabat. Kini sudah saatnya petani bangkit untuk melawan penindasan yang menimpa dirinya sejak Suharto menjadi presiden hingga Habibie jadi presiden. *** Tidak mudah melawan penindasan yang dilakukan pemerintah kepada petani. Yang penting petani jangan gugup, jangan terbawa arus gaya hidup orang kota. Jangan tergiur iming-iming iklan, berhematlah, saat ini adalah saat prihatin, saat krisis ekonomi yang parah. Aturlah uang dengan urutan sebagai berikut : Kebutuhan-kebutuhan lain ditunda. Untuk sementara hentikan kegiatan-kegiatan baru seperti mambangun rumah. Manfaatkan rumah yang ada sekarang dengan sebaik-baiknya, kalau ada uang dipakai untuk merawat rumah itu. Jangan beli/belanja mobil atau alat elektronik lainnya, karena harganya sedang sangat mahal. Jika punya mobil, maka uang yang ada dipakai untuk merawat mobil itu. Jika tidak perlu sekali, jangan beli pakaian baru, kecuali untuk Lebaran mendatang. Kalaupun beli pakaian, carilah yang tahan lama dan kuat. Lupakan gaya berpakaian, mode, dan gengsi-gengsian, yang penting pantas dan sopan. Jika pola belanja keluarga sudah diatur sedemikian rupa, maka petani bisa melakukan perlawanan terhadap penindasan dirinya, mulai dari keluarga. *** Sudah sewajarnya bila petani Indonesia tak perlu gugup menghadapi kebijakan pemerintah yang merugikan dirinya. Bertahanlah, jangan jual gabah anda kepada Dolog/Bulog. Biarlah orang-orang non petani memakan beras dari impor, baik itu dari Thailand, Vietnam, maupun dari Pakistan, Kuba dll. Beras impor itu beras jelek. Banyak kutunya dan tidak enak. Dengan menahan gabah anda yang kualitasnya jelas lebih baik dan enak, maka anda pempunyai kekuatan tawar menawar yang lebih tinggi. Artinya anda baru melepas beras anda yang enak, dengan harga wajar, sesuai dengan pasar dunia. Kalau mereka tidak mau, biarlah mereka beli beras yang berkutu. Petani Indonesia tidak ada yang menolong kecuali dirinya sendiri. Mahasiswa kini pun tidak pernah menghiraukan nasib petani, padahal mahasiswa ITB pada tahun 1978 telah mencoba turut memperjuangkannya, melalui aksi dan "Buku Putih Perjuangan Mahasiswa Indonesia", walaupun gagal. Semakin kuat petani betahan, semakin baik. Perjuangan ini harus terus dilakukan hingga kebijakan pemerintah pelan-pelan berubah. Petani Indonesia, selamatkan dirimu. Mulai dari hari ini.(A10)***
Edisi 9 Tgl 5 Juni 1998 Penyiar SCTV membuat pertanyaan cerdas ketika mewawancari Dr. Bungaran Saragih, Kamis, 040698. Ia bertanya bukankah dengan kebijakan beras murah itu berarti pemerintah memberi subsidi kepada petani di luar negeri. Dan Dr. Saragih membenarkan, kebijakan itu berarti memberi subsidi petani luar negeri. Pertanyaan penyiar SCTV ini mengingatkan isi Buku Putih KM ITB, 1978, saat mahasiswa ITB meminta MPR RI untuk tidak memilih Suharto lagi. Sekarang ini harga beras di luar negeri sekitar Rp 3200,-/kg, sedangkan harga beras pembelian Badan Urusan Logistik (Bulog) hanya Rp 1660,-/kg. Ini berarti pemerintah menggunakan uang negara/rakyat untuk mensubsidi petani luar negeri sebesar Rp 1.540,-/kg. Atau dengan kata lain pemerintah menindas petani Indonesia untuk menjual berasnya dengan harga murah, dan penindasan itu berlangsung sejak Suharto memimpin Orde Baru. Sungguh sulit dipercaya seorang yang sangat ramah dalam berdialog dengan petani, tapi nyatanya begitu keji menindas petani sendiri. Mahasiswa ITB sejak 1978 sudah mengingatkan, dan kini setelah 20 tahun, penindasan kepada petani Indonesia harus dihentikan. Pada prinsipnya biarkan pasar bebas yang menentukan harga beras. Memang nanti harga beras akan naik, dan kenaikan ini akan mendorong petani Indonesia lebih rajin menanam padi, karena lebih menguntungkan, sehingga produksi padi meningkat. Jika produksi meningkat, maka pemerintah tak perlu impor beras lagi. Selain itu para petani yang urbanisasi akan tertarik kembali ke desa dan menjadi petani lagi. Desa hidup kembali, dan kota berkurang tekanannya. Tentu, banyak sekali orang kota yang mengeluh, dan mereka akan menyatakan, jika beras mahal, kasihan betul para buruh tani. Oleh karena itu mereka tetap mengharapkan agar harga beras tetap ditekan semurah mungkin. Keluhan orang kota ini sangat wajar, karena sudah biasa dimanja, dan sudah biasa menindas petani, tentu lewat tangan pemerintah. Sudah saatnya orang kota harus mandiri. Bagi buruh tani, sesungguhnya beras mahal tidak menjadi masalah, karena kebanyakan dari mereka dibayar dengan gabah. Asalkan gabah itu tidak tergesa-gesa dijual kepada tengkulak atau yang lain, maka mereka tetap bisa bertahan hidup. Jika mereka tahu bahwa bertani itu lebih menguntungkan daripada menjadi kuli, maka mereka akan berusaha membeli tanah yang pernah mereka jual kepada orang kota. Semoga reformasi yang dilancarkan mahasiswa Indonesia saat ini bisa melepaskan petani dari penindasan pemerintah. (A10)***
Edisi 8 Tgl. 2 Juni 1998 Petani, Jangan Jual Gabahmu Dalam dua-tiga bulan mendatang Indonesia akan mengalami krisis pangan, khususnya beras. Oleh sebab itu "Indonesia Baru" (IB) menghimbau agar petani tidak menjual gabah atau berasnya kepada Bulog/Dolog bahkan kepada orang lain. Hitung kebutuhan keluarga sampai dengan masa panen yang akan datang, bila lebih juallah, bila kurang jangan jual, kalau perlu beli tambahan. Katakanlah satu keluarga memerlukan 25 kg beras, dan panen mendatang masih empat bulan lagi, maka keluarga itu harus menyiapkan beras sebanyak 100 kg. Jika ternyata keluarga itu sudah mempunyai beras 100 kg, maka sisanya boleh dijual kepada sanak famili, dan tetangga sebelum dijual kepada Bulog/Dolog/KUD. Dalam waktu dekat, ada kemungkinan harga beras akan naik. Mungkin pemerintah akan berusaha menekannya semurah mungkin, tapi yang merisaukan adalah beras akan sulit dicari, karena cadangannya kurang. Oleh karena itu, lebih baik tidak dijual, dari pada nanti kesulitan mencari beras. Terus terang IB merasa risau, bagaimana menyampaikan pesan ini kepada petani, yang tidak terjangkau oleh internet. Oleh karena itu, kami memohon kepada anda untuk memberi tahu petani yang anda kenal. Kasihani mereka, jangan sampai mereka kelaparan.(A10).*** Edisi 6 Jumat, 8 Mei 1998 Dolar AS melonjak sampai Rp 10.000,-, bahkan ada yang harus membeli dolar lebih besar daripada itu. BI menanggapinya dengan menaikkan bungaa SBI, tapi keadaan tak bergeming. Orang yakin akan rumus "High Profit, High Risk". Hanya orang yang nekat yang akan mendepositokan uangnya, bahkan penjudi ulung pun takkan berani menyimpan uang dalam bank-bank di Indonesia. Sementara itu inflasi merajalela, harga sembako meroket. Dari pengamatan wartawan BI, supermarket diserbu rakyat, tapi tak sehebat menjelang Lebaran yang lalu, hal ini dikarenakan simpanan masyarakat makin tipis sehingga tak mampu memborong sembako terlalu banyak. Dapat diperkirakan kehidupan rakyat makin sulit, dan ada kemungkinan wabah kelaparan akan menjalar sekitar bulan Juni dan Juli yang akan datang. Suharto telah gagal, tapi tetap tak mau mengakuinya. Rakyat makin tak percaya, tapi tak berdaya. Mahasiswa berusaha menyelamatkan keadaan, dengan menuntut agar Suharto turun, tapi mereka malah dipukuli oleh aparat keamanan. Melihat kenyataan ini, ada kemungkinan korban makin banyak yang berjatuhan, sebelum Sidang Istimewa MPR menyeret turun Suharto. (A7)***
Edisi 5 Selasa, 5 Mei 1998 BBM naik, tarif listrik naik, ongkos angkutan naik, harga-harga pun bakal melonjak. Senin, 4 Mei 98, bukan hanya pompa bensin saja yang diserbu, tapi juga supermarket-supermarket. Ibu-ibu di Bandung cukup selektif, mereka memborong susu, minyak goreng dan gula untuk kebutuhan satu-dua bulan, bahkan ada yang tiga bulan. Bahkan ada juga yang memborong seluruh kebutuhan bulanannya sampai tiga bulan. Selasa, hari ini, harga-harga mungkin sudah naik, dan besok lagi mungkin naik lagi. Teriakan mahasiswa bagaikan lenyap di padang ilalang, tanpa sahutan, karena pemerintah Suharto tak mampu. Pemerintah Suharto hanya menambah kesengsaraan rakyat.(A7)***
Jumat, 1 Mei 1998 Belanja Sekarang Itu Menghemat Inilah paradoks, bila anda belanja sekarang itu berarti anda menghemat. Pemerintah tak henti-hentinya mencetak uang, inflasi akan tinggi, BBM dan listrik akan naik, pada gilirannya harga-harga naik semua. Dengan demikian bila anda belanja sekarang, berarti anda menghemat. Lupakan tabungan dan deposito, jangan ragu-ragu menariknya, dan belanjakan sekarang. Rabu, 29 April 1998 Pepatah "High Profit, High Risk" masih berlaku. Anda ingat Yayasan Adil Makmur Ongkowidjojo yang menjanjikan keuntungan besar dalam waktu singkat? Risikonya sangat besar, tak terhitung uang rakyat amblas. Anda ingat bank gelap yang melanda IPTN, PT INTI, dan sebagian orang-orang ITB tahun lalu? Bank itu menjanjikan bunga sebesar 10%-20% setiap bulan. Berbondong para sarjana menanamkan uangnya ke bank gelap itu, dan buntutnya segera nyata, uang mereka amblas. Itulah bukti "High Profit, High Risk"! Masih tahun lalu, bank-bank yang goyang selalu memasang bunga deposito lebih besar dari bunga rata-rata. Semakin besar bunga yang ditawarkan, semakin jelas tanda-tandanya bahwa bank itu sedang kehausan dana. Ternyata bank-bank itu terlikuidasi. Sekarang ini perbankan di Indonesia menawarkan sesuatu yang luar biasa, yaitu profit yang luar biasa tinggi yaitu bunga deposito sebesar 47,5% pada awal April 1998, kemudian naik menjadi 52,5%. Inilah bentuk high profit! Yang menjadi pertanyaan adalah apa risiko yang dihadapi penyimpannya? Apakah mungkin pepatah itu berganti dengan "High Profit, Low Risk"? Ah, itu tak mungkin, karena tak sesuai dengan hukum alam. Pasti ada risiko besar di balik bunga deposito yang demikian besar! Salah satu kemungkinan risiko itu adalah mengkonversikan uang deposito itu menjadi obligasi, yang pernah dilakukan pada awal Orde Baru. Apalagi pemerintah sekarang membutuhkan obligasi sebesar Rp 75 triliun. Siapa yang mau beli? Kemungkinan ini ditolak mentah-mentah oleh Menteri Keuangan Fuad Bawazir. Apalagi nanti ada asuransi deposito seperti yang digariskan IMF. Katakanlah ia benar, dan pemerintah tidak berbohong sebagaimana wataknya, lalu apa risiko yang mungkin terjadi. Adakah kemungkinan mengubah uang deposito itu menjadi SBI? Waktu Sumarlin menjadi Menteri Keuangan pernah melakukan hal itu, ia mengubah uang deposito BUMN menjadi SBI. Sampai saat ini kita masih belum tahu, risiko apa yang akan menimpa para deposan saat ini. *** Tujuan pemerintah memasang bunga tinggi adalah untuk menyedot rupiah, sehingga orang mau menukar dolarnya dengan rupiah, dan pada gilirannya kurs dolar turun, rupiah menguat. Ternyata tidak banyak orang terpancing iming-iming pemerintah. Kurs dolar tetap berkisar Rp 8000,-. Orang sudah mulai curiga kepada pemerintah, pasti ada udang di balik batu. Pasti ada maksud-maksud tertentu di balik tindakan pemerintah yang akan merugikan rakyat. Barangkali ada baiknya anda bertanya kepada para pengusaha Cina, kenapa mereka begitu dingin menanggapi pancingan bunga tinggi dari pemerintah. Mengapa mereka tetap mempertahankan dolar AS, walaupun pemerintah bertekad menekan nilai dolar menjadi Rp 6000,-? Mengapa mereka lebih memilih menyimpan uang dalam locker-locker bank? Tentu saja ada sebagian orang yang berani menempuh risiko tinggi, dengan mengubah uangnya dari dolar ke rupiah. Katakanlah ia punya $ 12.500, ditukarkan menjadi rupiah, sehingga dapat Rp 100 juta, kemudian disimpan dalam deposito dengan bunga rata-rata 50%, sehingga tiap bulannya ia memperoleh bunga Rp 4.166.667,-. Katakanlah bulan depan kurs dolar menjadi Rp 6000,-, dan ia segera mencairkan depositonya, untuk membeli dolar sebanyak $ 12.500,-, sisanya dibiarkan dalam rupiah yaitu Rp 25 juta ditambah dengan bunga deposito Rp 4,17 juta. Kalau hal ini terjadi maka dalam satu bulan ia untung Rp 29,17 juta, hanya dengan modal $ 12.500,-. Inilah high profit! Siapa yang buntung? Ya pemerintah! Hitung-hitungan ini begitu sederhana, dan orang pemerintah tentu tahu. Jadi pemerintah punya jurus untuk mementung anda sebelum ia buntung. Pada saat itulah anda menuai high risk!!! Mari kita tunggu. (A7).***
Bunga deposito sebesar 52,5% akan membuat bunga pinjaman berkisar sekitar 60%. Pengusaha mana yang mau pinjam uang kepada bank? Pinjam uang kepada bank saat ini berarti bunuh diri. Bagi pengusaha yang terlanjur pinjam bank, mereka bagaikan orang yang ditodong dan tak berdaya. Bunga pinjamannya menyesuaikan diri dengan tingkat bunga yang berlaku. Itu artinya pembunuhan. Sementara itu pengusaha yang belum punya pinjaman dan masih menyimpan uang tunai, maka mereka menghentikan usahanya untuk sementara waktu. Daripada menanam uangnya dalam usaha, lebih baik didepositokan. Dungeon tidur-tiduran ia dapat uang. Ini berarti dunia usaha terancam bangkrut. Dan biasanya pengusaha yang terancam bangkrut akan protes sekeras-kerasnya. Namun, kini ternyata tidak terdengar pengusaha yang protes. Ini adalah pertanda bahwa pengusaha yang ada sudah bangkrut atau collapse, sehingga tak mampu untuk protes lagi. Pertanda ini akan mudah diamati dari jumlah penganggur yang semakin bertambah. (Jangan percaya kepada penjelasan resmi pemerintah melalui mulut Menaker Theo Sambuaga). Bagi bank, kebijakan ini juga merupakan pembunuhan. Bank dipaksa menerima deposito dengan bunga yang tinggi, tapi dia tak boleh menyalurkan kredit. Kalaupun dia memaksakan diri menyalurkan kredit, siapa yang mau punjam? Ini berarti bank harus membayar bunga kepada nasabah, tanpa memperoleh pendapatan baru. Ini berarti bank dipaksa merugi. Sampai kapan ini terjadi? Menurut penjelasan Bank Indonesia, keadaan bunga bank tinggi akan berlangsung 3-4 bulan. Kemungkinan pada saat itu seluruh pengusaha dan bank tak mampu hidup lagi. (A7)***
Pengingkaran Perjanjian dengan IMF Pemerintah Suharto kembali mengingkari perjanjian dengan IMF, yaitu masalah monopoli cengkeh dan hambatan ekspor CPO. Monopoli cengkeh masih ada walau BPPC sudah dibubarkan, sebagai gantinya adalah PT KNC (Kembang Cengkeh Nasional). Jika monopoli versi BPPC berlangsung secara formal sesuai dengan peraturan tertulis. Monopoli versi KNC menggunakan cara-cara mafia, semua cukup dilakukan lewat telepon, sehingga sulit dilacak secara formal. KNC adalah milik Tommy Suharto. Ini adalah tambahan bukti bahwa Suharto selalu bohong, tak dapat dipecaya.(Selanjutnya baca tabloid Kontan, 27 April 1998, halaman 7). Pengingkaran yang lain adalah masalah ekspor CPO (Crude Palm Oil). Secara formal CPO boleh diekspor dengan pajak 40%, tapi prakteknya tetap dihambat. Anggota Gapki dan AIMMI sepakat tidak menjual CPO kepada pedagang yang berorientasi ekspor. (A7)*** (Selanjutnya baca Bisnis Indonesia, 27 April 1998). (Gapki=Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. AIMMI=Asosiasi Minyak Makan Indonesia). Kamis, 23 April 1998 Pemerintah membantah bahwa deposito dan uang masyarakat yang ada pada bank tidak akan diubah menjadi obligasi (surat utang). Jika ada suara seperti itu hendaknya jangan dipercaya. "Ini adalah keterangan resmi," kata Fuad Bawazir, Menteri Keuangan. Menurut akal sehat keterangan pemerintah benar, bahkan Senin, 20 April 1998 Kwik Kian Gee menulis pandangannya bahwa pemerintah tidak akan mengubah uang masyarakat dalam bank menjadi obligasi. Kini terserah anda, apakah percaya kepada pemerintah atau sebaliknya. Hanya perlu diingatkan bahwa pemerintah sudah sering berbohong, sehingga muncullah krisis kepercayaan saat ini. Masih belum hilang dari ingatan kita bahwa pemerintah tidak akan melikuidasi bank lagi, tapi yang muncul adalah pembekuan bank. Dalam dunia pers, pemerintah mengatakan tidak akan ada pembreidelan koran, yaang muncul sebagai gantinya adalah pencabutan SIUPP. Kritik atas tulisan Kwik sangat sederhana, yaitu ia terlalu percaya kepada pemerintah.Titik.(A10).***
Senin, 20 April 1998 Pengantar redaksi : Maraknya demonstrasi mahasiswa disusul dengan rekayasa dialog akbar antara pemerintah dengan mahasiswa adalah sangat mencurigakan. Ada sesuatu yang perlu disimak dengan cermat, sehingga kita tahu maksud di balik rekayasa itu. Agar kita bisa melihatnya dengan jernih, maka hapuskan perhatian anda terhadap seluruh kegiatan mahasiswa dengan segala tuntutannya yang mustahil dilakukan oleh pemerintah saat ini, apalagi keinginan untuk menurunkan Suharto dari tahtanya. Ingat ABRI tetap mendukung status quo, tetap mendukung Suharto. Kini, perhatikan uang anda, baik yang berada dalam deposito, tabungan, giro, mau pun uang tunai yang berada dalam dompet anda. Anda harus menjaganya dengan cermat agar tidak lenyap. Ada dua tindakan pemerintah yang bisa membahayakan uang anda, yaitu : 1. Pemerintah akan mencetak uang, agar peranan Bank Sentral sebagai lender the last resort bisa dipenuhi. 2. Pemerintah akan menerbitkan obligasi (surat utang) sebesar Rp 75 triliun. Penjelasan 1 : Kegiatan mencetak uang itu sudah terbaca setelah pemerintah menjamin seluruh uang masyarakat pada bank, padahal pemerintah tak punya uang. Satu-satunya jalan adalah dengan mencetak uang, akibatnya inflasi makin menggila. Hanya dalam tiga bulan (Januari-Maret 1998) inflasi mencapai 25%. Kini pemerintah akan mencetak uang lagi, agar Bank Indonesia bisa mengucurkan uang untuk membantu bank-bank, apabila masyarakat menarik dananya dari bank itu. Tindakan ini jelas akan mendorong inflasi makin menggila, padahal salah satu sasaran utama reformasi ekonomi yang dicanangkan pemerintah dengan IMF adalah menekan inflasi. Apabila inflasi menggila, dapat dipastikan nilai rupiah makin merosot terhadap dolar AS. Itu berarti sasaran utama reformasi ekonomi untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah juga akan gagal. Dengan demikian kegiatan pemerintah mencetak uang untuk menjaga kepercayaan pemerintah terhadap bank, akan menggagalkan seluruh program reformasi ekonomi di Indonesia. Dalam keadaan seperti ini nilai rupiah anda bagaikan busa sabun, nominalnya tetap besar, tapi nilainya tak ada artinya. Uang anda akan digerogoti inflasi. Penjelasan 2 : Untuk menjaga agar reformasi ekonomi tetap berjalan, pemerintah akan menerbitkan obligasi (surat utang), sebesar Rp 75 triliun (US $ 10 miliar). Kepada siapa pemerintah berutang? Tak ada satupun pemerintah di dunia ini yang percaya kepada pemerintahan Suharto, dan mau meminjami uang kepadanya. IMF pun dengan hati-hati meminjaminya. Walaupun pemerintah sudah "sumpah-sumpah" akan mentaati perjanjian dengan IMF, tetap saja IMF belum mengucurkan pinjaman tahap kedua sebesar US $ 3 miliar. Mereka akan meneliti sampai akhir bulan ini, dan kemudian awal Mei akan rapat direksi, apakah mereka mau meminjami pemerintah Suharto atau tidak. Jika luar negeri tak mau memberi pinjaman, maka kepada siapa pemerintahan Suharto akan meminjam uang? Apakah bisa pinjam kepada rakyat? Pada dasarnya rakyat tidak bisa meminjami uang kepada pemerintah, karena mereka tak punya uang dan banyak utang. Selain itu meminjami uang kepada pemerintah dalam bentuk obligasi itu sama dengan menyumbang pemerintah. Uang itu akan hilang. Anda masih ingat awal Orde Baru dahulu? Pemerintah juga mengeluarkan obligasi, dan sampai kini tak ada kabar beritanya. Jika rakyat tak mau meminjaminya, maka pemerintah akan memaksanya. Tentu saja Suharto tidak akan mengirim ABRI untuk mendatangi rumah ke rumah dan memaksa penghuninya untuk memberi pinjaman kepada pemerintah. Kalau itu terjadi habislah riwayat ABRI dalam sanubari rakyat. Ada cara yang lihai, yaitu menaikkan bunga SBI, yang kemudian mendorong bank menaikkan bunga deposito. Ingat, sewaktu bunga deposito mencapai 67,5% (kemudian diturunkan menjadi 47,5%), yang memulai adalah bank-bank pemerintah. Jadi ini merupakan bagian dari rekayasa. Dengan bunga seperti ini, maka tak mungkin ada pengusaha yang berani pinjam kepada bank. Tak ada jenis usaha yang mempunyai keuntungan lebih daripada 67,5%. Hal ini akan mematikan pengusaha Indonesia. Namun semua risiko itu diambil, dengan dua sasaran utama, yaitu menyedot rupiah dari peredaran, sehingga inflasi bisa ditahan lajunya, dan nilai rupiah menguat terhadap dolar AS. Ada satu hal yang belum disentuh oleh seluruh media massa Indonesia, yaitu uang yang terkumpul pada bank akan diubah menjadi obligasi. Pemerintah bukan hanya menginjak kaki BUMN yang gemuk, tapi juga uang anda, baik dalam deposito, giro, maupun tabungan. Dengan demikian pemerintah tak perlu mengirim ABRI dari rumah ke rumah, tapi dengan iming-iming bunga bank yang tinggi, uang akan masuk ke dalam bank dan setelah itu dengan mudah dijaring dan diubah menjadi obligasi. Dan anda tak bisa berbuat apa-apa, meski anda memaki-maki pemerintah dan Suharto sebagai perampok. Paling-paling anda hanya bisa memaki-maki, tak lebih daripada itu. Ingat ABRI tunduk dan patuh di belakang Suharto, baik dia benar atau salah. Saran-saran : 1. Lupakan perhatian anda kepada kegiatan mahasiswa untuk sementara
waktu. Petunjuk teknis : Tulisan ini sengaja dikirim kepada "Indonesia Baru" (IB) sebagai kritik kepada dewan redaksinya agar tidak terpukau oleh aksi mahasiswa saja. Dan dari pengamatan selama 20 hari setelah IB terbit dikunjungi oleh 1.000 orang, dengan demikian rata-rata satu hari dikunjungi 50 orang. Jumlah yang sangat kecil dan itupun belum tentu membaca isi IB. Katakanlah yang 50 orang itu membaca tulisan ini dan 25 orang percaya atas isinya, dan 25 orang lagi percaya kepada pemerintah, maka yang menarik uang dari bank tidaklah terlalu besar jumlahnya (ditinjau dari nilai nominal maupun orangnya). Namun demikian, sangat disarankan agar pembelian bahan-bahan yang anda lakukan janganlah terlalu mencolok. Jika terlalu mencolok, maka menimbulkan tanda tanya, dan hal itu akan menimbulkan rush. Bila rush terjadi, maka harga akan melambung setinggi-tingginya, sebelum anda sempat memberi tahu saudara dan teman terdekat anda. Ingat lakukan penarikan uang dan belanja barang tanpa tindakan demonstratif, dan jangan banyak omong tentang masalah ini, sebelum uang anda, saudara dan teman anda terselamatkan.***
Kamis, 9 April 1998 Pemerintah Indonesia mencapai kesepakatan baru dengan IMF. Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menandaskan bahwa Indonesia akan menjalankaan reformasi ekonomi dengan sungguh-sungguh sesuai dengan isi kesepakatan itu. Ia menandaskan bahwa reformasi ini adalah kebutuhan Indonesia, jadi tanpa didesakkan oleh orang lain, Indonesia tetap akan menjalankan reformasi ekonomi. Semua yang dinyatakan pemerintah enak didengar, tapi kita ingin bukti. Apakah benar monopoli akan dihapuskan? Kesepakatan dengan IMF 15 Januari 1998 juga mencantumkan penghapusan monopoli, tapi pemerintah tidak melaksanakannya. Pemerintah sudah terlalu sering ingkar janji, karena bila monopoli benar-benar dihapus, maka bisnis keluarga dan konco-konco Suharto akan tidak menikmati keuntungan yang menggiurkan seperti semula. Jika Suharto ingkar janji lagi, maka dia telah mempermalukan bangsa Indonesia di mata dunia lagi. Perilaku Suharto akhir-akhir ini membuat citra bangsa Indonesia rusak. Yang merisaukan dari kesepakatan itu adalah munculnya kenyataan, betapa buramnya nasib Indonesia pada saat-saat terakhir kepresidenan Suharto. Untuk tahun 1998/1999 pertumbuhan ekonomi diasumsikan -4%, laju inflasi 17%, kurs patokan Rp 6.000,-/US$, defisit anggaran 3,2%. Tentang inflasi, untuk bulaa n Januari-Maret 1998 sudah 25,13%, dan tahun takwim 1998 diproyeksikan 45%. Asumsi-asumsi ini sungguh mengerikan, karena itu berarti rakyat makin sulit berusaha, PHK mungkin makin menjadi-jadi, nilai rupiah makin merosot, harga melambung. Semua penderitaan rakyat ini disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah di bawah pimpinan Suharto. Menjelang akhir hayatnya, nama Suharto dicatat dengan tinta hitam, noda yang takkan terlupakan.(A10)***
|