Sejak peristiwa Sabtu kelabu itu, pemberitaan dalam media massa resmi didekte oleh kemauan aparat keamanan. Mulai dari kronologi kejadian yang tidak pernah transparan, disembunyikannya angka korban meninggal dan luka-luka, dilarangnya pihak rumah sakit untuk memberikan keterangan kepada para wartawan. Bahkan kemudian muncul kambing hitam yang kini berubah bentuk menjadi setan gundul, sebagai biang keladi terjadinya peristiwa penyerbuan tersebut.
Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang belum lama mengumumkan deklarasinya dijadikan kambing hitam yang paling mudah. Selama ini sekelompok mahasiswa, buruh, petani, dan kaum muda lainnya yang tergabung dalam PRD, memang selalu berada di garis depan aksi-aksi gerakan pro demokrasi. Momen 27 Juli dijadikan usaha mendayung dua pulau sekaligus: membabat pendukung Megawati serta melumpuhkan kelompok radikal macam PRD. Ujungnya semua sudah tahu, untuk mengamankan Pemilu 1997 dan mengukuhkan kedudukan Soeharto sebagai presiden.
Balon isu segera ditiup, jadilah PRD dalang peristiwa 27 Juli. Begitu versi pemerintah. Dengan konferensi pers yang amat atraktif, Menko Polkam Soesilo Soedarman menyebut PRD sebagai sinonim Partai Komunis Indonesia yang telah dibubarkan sejak tahun 1965. "Dari seluruh anggaran dasarnya tidak ada satu kalimat pun yang menulis tentang Pancasila,"demikian Soesilo Soedarman di depan puluhan wartawan dalam dan luar negeri.
Sejak hari itu tiap media massa hanya mengamini apa saja yang telah disampaikan Soesilo Soedarman, dan serta merta hari ke hari headline koran hanya berkisar tuduhan komunis kepada PRD. Koran Terbit yang biasa keluar sore hari bahkan menangguk keuntungan dalam kesempitan. Tanggal 28 Juli yang jatuh pada hari Minggu merupakan hari libur nasional, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, dimanfaatkan koran milik Tarman Azam, ketua PWI DKI Jaya ini, untuk mendongkrak penjualan korannya, sebagai satu-satunya koran yang muncul hari itu. Dijual Rp. 1000 pun masyarakat yang haus informasi pasti membelinya. Mulai masa itu, koran ini 'jualan' isu dengan menulis judul headline sepanjang 7-9 kolom, walau isinya tak sebombastis judulnya.
Awal Agustus, ke tiap meja redaksi surat kabar dan majalah, masuklah fax yang berasal dari Puspen ABRI, yang mengajari bagaimana cara menulis berita soal PRD. Fax tersebut menyebutkan bahwa tiap kali menulis kata "PRD" harus diberi frasa kalimat "Apa yang menyebut dirinya sebagai PRD." Upaya pendiktean ini terbukti efektif, karena sejak fax tersebut masuk, banyak media menerima diktean tersebut. Kredibilitas organisasi PRD mau diruntuhkan dengan menulis berita seolah-olah PRD adalah organisasi ilegal.
Pahitnya profesi wartawan dalam situasi begini tak cuma berhenti di situ. Korban kerusuhan 27 Juli juga berakibat terhadap wartawan. Yang paling parah adalah fotografer majalah UMMAT yang cedera serius akibat pukulan para aparat. Fotografer lain yang juga mengalami kerugian baik pukulan fisik maupun pengrusakan atas kamera foto juga dialami wartawan dari Surya, dan fotografer lepas Asiaweek. Juga muncul isu tentang pemecatan sejumlah wartawan Kompas yang dianggap terlalu berpihak pada Megawati.
Efek lain dari kemelut PDI ini juga berimbas pada tiga orang wartawan di Surabaya yang ketiban apes saat meliput demonstrasi pendukung Megawati. Mereka kena jaring aparat militer, walau sudah diterangkan bahwa mereka wartawan yang meliput. Keterangan tersebut tidaklah mempan, bahkan mereka beroleh pukulan serta kepala diadu dengan dinding tembok tempat mereka diperiksa. Harian Media Indonesia pun dipaksa memindahkan reportasenya, untuk dilitbangkan, karena dianggap pro terhadap Megawati.
Selain itu sejumlah media massa pun was was akan terkena peringatan atas pemberitaan mereka dalam kasus PDI ini. Media Indonesia dari awal sebelum kejadian 27 Juli sudah mengambil ancang-ancang untuk tidak ikut campur dalam pertikaian PDI dan menghimbau pers lain untuk juga mengikuti langkahnya. Akibatnya, ada pers yang menerima saja umpan-umpan yang disiapkan aparat untuk dijadikan berita. Majalah Sinar misalnya, adalah yang pertama kali melansir bahwa orangtua Budiman Sudjatmiko, ketua PRD, adalah anggota PKI. Fakta yang diyakin betul oleh Syarwan Hamid ini, belakangan terbukti bohong sama sekali. Pihak aparat keamanan kecele ketika orangtua Budiman yang tinggal di daerah Bogor ini, ternyata seorang haji dan pemeluk agama muslim yang taat. Bahkan di rumah tinggalnya, mereka juga mempunyai sebuah tempat pengajian.
Majalah Sinar memang banyak mendapat vooding dari pihak aparat keamanan untuk membuat opini publik memojokkan kelompok PRD. Bahkan sejumlah tulisan tanpa konfirmasi diklaim menjadi tulisan tim Sinar, padahal tulisan itu lebih banyak menyebut asal informasi dari 'sumber Sinar'. Suatu indikasi tak jelas untuk sebuah kerja jurnalistik.
Lepas daari perangkap tersebut, pihak intel yang mendadak menjadi pemimpin redaksi banyak media massa segera menggelar upaya lain. Harian Republika misalnya, menonjol-nonjolkan sosok Romo Sandyawan sebagai pelindung Budiman saat dalam pelarian. Misi perlindungan terhadap kemanusian oleh Romo Sandyawan yang juga menjadi tim pencari fakta peristiwa 27 Juli, jadi pupus ketika koran seperti Republika mengalihkan menjadi isu yang mendeskreditkan golongan umat Katolik. Cara seperti ini jelas sarat dengan unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) yang mau dicangkokkan dalam kejadian ini.
Media lain juga punya pengalaman tersendiri. Majalah Forum Keadilan pun tak urung kena peringatan atas pemberitaannya. Dalam situasi intern yang masih bergolak soal investor baru, majalah Forum Keadilan rupanya punya dosa akumulatif sudah sejak edisi yang menulis profil Kemal Idris. Dalam edisi nomor 01/1996 bercover Megawati dan sejumlah tokoh MARI dan PDI, rupanya Deppen mencatat banyaknya dosa yang dibuat majalah ini. Mulai dari Catatan Hukum yang ditulis Karni Ilyas yang menggugat penggunaan pasal subversi atas Budiman dkk, Analisa Politik yang ditulis oleh Mochtar Pabottingi, yang membandingkan kerusuhan 27 Juli dengan peristiwa Malari 1974, Kolom YB Mangunwijaya yang berjudul "Komunis", dan Laporan Utama yang menkover mismanagemen dalam perusahaan penerbangan Garuda Indonesian Airways. Dan yang paling telak kesalahan media ini, menurut Deppen adalah wawancara dua halaman dengan Megawati dalam rubrik Forum Khusus. Bisa dibilang ini sudah lampu kuning untuk majalah yang telah berganti kepemilikan. Kapan lampu merahnya, walahualam.....
Yang paling menonjol di depan dalam menyetir opini publik menuju arah yang destruktif, tak lain dan tak bukan adalah Majalah Gatra. Majalah yang berdiri di atas bangkai majalah Tempo, ini mudah saja mendapatkan akses untuk 'mewawancarai' (dibaca: menginterogasi) Dita Sari, ketua PPBI di Surabaya. Amran Nasution, sang interogator (pertanyaan yang isinya jauh lebih panjang dari jawaban sumber yang diwawancara) memang dikenal dekat dengan kelompok militer, khususnya grup CPDS milik Prabowo. Majalah ini pula yang tak ada angin tak ada hujan, menuduh Sandyawan sebagai penganut Teologi Pembebasan yang diduga menganut ajaran Marxis. Menurut versi Gatra, skenarionya sudah lengkap: ada PRD, ada rohaniwan katolik jadi pelindung, mungkin juga aktor intelektual, dari kalangan Jesuit pula, dan ajaran link dengan Marxis. Kesimpulannya enteng saja: basmi saja seluruhnya.
Pers luar negeri pun tak kalah getol menulis soal perkembangan kasus PDI ini. Di tengah timpukan batu bata, sejumlah wartawan luar negeri menjadi saksi kebiadaban yang terjadi di Indonesia. tak heran, kisah tentang Indonesia ini menjadi pembahasan khusus majalah-majalah luar tersebut.
Tak pernah ada dalam sejarah, cover depan majalah Far Eastern Economic Reviewyang berbasis di Hongkong dan majalah The Economist yang berbasis di Inggris memuat foto yang sama atas kejadian 27 Juli tersebut. Penggambaran dalam cover sangatlah dramatis. Bara api yang masih terbakar jadi obyek foto ini, namun di bagian belakang tampak seorang pemuda menggunakan jacket Lucky Strike berwarna putih, yang membungkus kaos berwarna merah di dalamnya. Tangan kanan pemuda itu terlihat tengah mengayun setelah melempar bara api. Dan apa yang dipegangnya di tangan sebelah kiri? Sebuah helm motor dan pisau komando berukuran sekitar 50 cm terhunus. Foto tersebut sudah bercerita banyak dan menjadi saksi untuk masyarakat internasional, tentang apa yang sebenarnya terjadi. Suatu kebiadaban politik oleh rejim Soeharto, yang menjadikan media massa sebagai salah satu korbannya saja.
Media luar negeri yang melihat fenomena megawati sebagai pertanyaan besar menuju pembaharuan politik di Indonesia, tak urung kena cegah masuk ke dalam wilayah Indonesia. Majalah TIME misalnya, edisi pertengahan Agustus, tak diperbolehkan masuk karena memuat cover depan Soeharto dan isinya mempertanyakan secara kritis perkembangan di Indonesia. Majalah Asia Week dan Newsweek yang keduanya memuat cover depan Megawati Soekarnoputri juga tak boleh beredar di Indonesia, dengan alasan yang sama. Sayangnya aparat ketinggalan jaman dengan menyensor sedemikian rupa, mereka lupa ada teknologi lain yang memungkinkan berita sensor tadi tetap masuk ke dalam wilayah Indonesia. Masih ada mesin fax, dan juga teknologi internet. jadi kalau mau sensor lebih canggih, masih harus belajar lagi kan pak? (*mk1)